Kamis, 21 Juli 2011

Hak, Kewajiban, Dan Keadilan


HAK, KEWAJIBAN, DAN KEADILAN
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Ilmu Pendidikan Islam




Disusun oleh:
Nursyid Choirul H.     (210 609 047)

Dosen Pengampu:


JURUSAN TARBIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAN NEGERI

(STAIN) PONOROGO
2011


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Saat ini perbincangan tentang HAM dan keadilan sudah menjadi hal yang biasa. Tak dimanapun, baik media cetak maupun elektronik, memperbincangkan masalah ini. Mulai dari penegakan HAM dan keadilan, sampai pada pelanggaran keduanya.
Ada pertanyaan penting kektika kita memperbincangkan sesuatu, apa si sebenarnya yng dimaksud keduanya itu, HAM dan dan Keadilan? Bagaimana konsepnya? Lalu bagaimana kemudian Islam memandang keduanya?
Dari pertanyaan itulah, kami berinisiatif untuk menyusun makalah ini. Disamping untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf tentunya.

B. Rumusan Masalah
1.    Apa yang dimaksud hak?
2.    Apa yang dimaksud kewajiban?
3.    Apa yang dimaksud keadilan?
4.    Apa hubungan hak, kewajiban dan keadilan dengan hak?

C. Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf, JurusanTarbiyah Prodi PGMI STAIN PONORGO.





BAB II
PEMBAHASAN
Hak, Kewajiban, Dan Keadilan

A. Hak
1. Pengertian
Hak dapat diartikan wewenang atau kekuasaan yang secara etis seseorang dapat mengerjakan, memiliki, meninggalkan, mempergunakan atau menuntut sesuatu.
Poedjawijatna mengatakan bahwa yang dimaksud hak ialah semacam milik, kepunyaan yang tidak hanya kepunyaan benda saja, melainkan pula tindakan, pikiran, dan hasil pemikiran itu.

2. Macam-Macam Dan Sumber Hak
Ada bermacam-macam hak, dalam hal yang demikian ada dua faktor yang menyertainya. Pertama faktor yang merupakan hal (obyek) yang dimiliki atau disebut juga dengan hak obyektif. Kedua, faktor orang (subyek) yang berhak, yang berwenang untuk bertindak menurut sifat-sifat itu, hal yang demikian disebut dengan hak subyektif.
Dalam kajian akhlak, tampaknya hak subyektiflah yang lebih mendapatkan perhatian, yaitu wewenang untuk memiliki dan bertindak. Disebut wewenang bukan kekuatan, karena mungkin saja wewenang (hak) itu tidak dapat dilaksanakan karena ada kekuatan lain yang menghalanginya.
Dilihat dari segi obyek dan hubungannya dengan akhlak. Hak itu secara garis besar dapat dibagi menjadi tujuh bagian, yaitu hak hidup, hak mendapatkan perlakuan hukum, hak mengembangkan keturunan (hak kawin), hak milik, hak mendapatkan nama baik, hak kebebasan berfikir dan hak mendapatkan kebenaran. Semua hak itu tidak dapat digangggu gugat, karena itu merupakan hak asasi yang secara fitrah telah diberikan tuhan kepada manusia, karena yang dapat mencabut hak-hak tersebut adalah tuhan. Selanjutnya jika manusia itu dihukum, atau dirampas harta bendanya, dijajah dan lain sebagainya, bisa saja dibenarkan jika yang bersangkutan melakukan pelanggaran.
Hak asasi dalam manusia itu dalam sejarah dan msyarakat sering mendapat perlakuan secara diskriminatif. Terhadap kelompok satu diberikan kebebasan untuk menyatakan pikiran dan melakukan usahanya di bidang materi, sedangkan pada kelompok yang satu diberiakan kebebasan untuk mnyatakan pikiran dan melakukan usahanya di bidang materi, sedangkan pada kelompok yang lainnya dibatasi dan tidak diberikan peluang untuk berusaha. Berkenan dengab ini maka pada tahun 1948 perserikatan bangsa-bangsa (PBB) mengeleurkan pernyataan kedua tentang hak asasi manusia (declaration of human right). Dalam pernyataan tersebut di kemukakan bahwa hak tersebut berdasarkan atas kemanusaiaan, dan kemanusaiaan itu intinya bertumpu pada budi pekerti. Pernyataan hak asasi ini dapat di katakana merupakan kesdaran umat manusia terhadap nilai kemanusiaannya. Denagn demikian adanya pernyataan tersebut memiliki misi pelaksanaan ajaran moral dan akhlak. Dan disinilah letak hubungan pembahasan masalah hak-hak manusia dan akhlak.
Selanjutnya pada masyarakat yang teratur baik, hak asasi manusia itu dinyatakan dalam bentuk undang-undang yang biasanya merupakan aturan yang umum sekali untuk masyarakat tertentu, baik masalah pidana maupun perdata. Bagi bangsa Indonesia misalnya kita mmiliki undang-undang 1945 yang memuat pasal 16 bab dan 37 pasal. Isi undang-undang yang berhubugan dengan hak asasi manusia salnya hak bernegara, hak bersuara, berusaha, beragama, berpendidkan, perlakuan hokum dan sebagainya. UUD 1945 ini dijiwai nilai-nilai pancasila yang merupakan jiwa falsafah, sumber inspirasi dan sumber moral pada hidup berbangsa dan bernegara. Dengan demikian keberadaan hak asasi manusia yang tercermin dala undang-undang dasar 1945 itu menggambarkan hubungan erat antara hak asasi manusia dengan ajaran moral.
B. Kewajiban
Manusia sebagai makhluk indvidu dan makhluk sosial, tidak dapat terlepas dai kewajiban.apa yang dilakukan seseorang dapat menyebabkan pola pengaruh pola hubungannya sebagai makhluk social. Pola hubungan yang baik antara individu satu dengan individu yang lain Karena adanya kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi.
Di dalam ajaran Islam menekankan atas kewajiban sebagai seorang muslim dengan sesama harus dijalankan. Sebagimana hadist Rosulullah SAW. Yang artinya: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam cinta kasih dan rahmad hati bagaikan satu badan, apabila satu menderita maka menjalarlah penderitaan itu keseluruh badan sehingga tidak dapat tidur dan panas.” (H.R Bukhori muslim).
Di dalam hadist di atas menggambarkan betapa pedulinya islam terhadap hubungan sesama muslim. Sehingga sesama kaum muslim itu mmiliki perasaan terikat dalam ikata ruh keagamaan. Dimana diibaratkan keutuhan suatau badan yang mempunyai ikatan yang utuh.
Ada suatu ajakan terhadap diri manusia supaya menjauhi dan meningalkan sifat takabur. Dan mendekati sifat renda diri dan positif. Rupanya ada hikmah kita mempunyai kewaiban untuk memiliki sifat rendah diri sesama manusia (muslim). Firman Allah dala surat Al-hijr ayat 88:
لا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ وَلا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman”(Q.S. Al-hijr: 88).
Tatanan dunia matrealistis dapat berakibat negatif, ada khilangan kewajiban antara sesama bagi penganutnya. Rasa kepemilikan kepada harta dapat menutupi nilai-nilai sosial. Pribadi mereka auh tak acuh dan mereka menganggap segalanya dapat dibeli dengan uangnya. Dari kondisi demikian terjadi kesenjangan social dalam bidang ekonomi. Akibat lebih jauh bahwa sebenernya kehidupan ini tidak lepas dari kewajiban sebagai indvidu, social dan pencipta alam semesta ini.
Agama Islam berisi aturan-aturan hidup manusia di dunia. Untuk itu dalam ajaran Islam juga diatur adanya hak dan kewajiban ini sebagai bukti bahwa islam sangat menjunjung tinggi hak-hak yang dimiliki setiap orang. Sabda rosulullah SAW menyebutkan bahwa hak setiap muslim terhadap muslim lain merupakan dasar yang fundamental bagi seorang muslim yang mempunyai kewajiban terhadap sesama muslim. Apabila betul-betul dan sungguh-sungguh manusia hidup di dunia ini memenuhi petujunjuk ajaran seperti hadist di atas, akan dapat mendatangkan kebahagiaan hidup baik individu, masyarkat dan Negara. Hal itu juga akan dapat mengkondisikan manusia berperiklaku sopan, bak, tumbuh kepedulia sosal, meiliki rasa handar beni, bertindak arif dan bijaksana sebagai manusia.
Manusia sebagai makhluik cipataan Allah juga mempunyai kewajiban terhadapnya kewajiban manusia hanyalah beribadah kepada Allah. hal ini ditegaskan dalam firman Allah. surat Adz-Dzariyat: 56
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
 Artinya:“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
Prinsip dasar beribadah inilah menjadi kewajiban bagi manusia sebagai makhluk tuhan, penyembahan yang dilakukan oleh manusia, buka semata-mata untuk kepentingan tuhan, namun sebaliknya justru untuk keselamatan dirinya sendiri. Bagi tuhan tidak ada masalah apabila manusia tidak mau melaksanakan kewajiban terhadapnya konsekuensinya sebenarnya terletak pada manusia sebagai mahluk tuhan, sebagaimanapun alasannya, tetap apabila manusia ingin mencari keselamatan, hus mau melaksanakan kewajiba tersebut.
Bukti sejarah, telah menujukkan bahwa manusia bersusah payah mencari tuhannya. Untuk mencar tuhan, nabi Ibrahim pada waktu kecilnya memahai alam. Dengan giat dan bener-benar memperhatikan hubungan Dengan giat dan bener-benar memperhatikan hubungan alam mandapat suatu petunjuk, bahwa semua alam ini ciptaan sang maha pencipta. Proses pencarian tuhan oleh Ibrahim itulah timbul perasaan, bahwa dirinya meiliki kewajiban menyembah (ibadah) kepada Allah. namun proses tersebut terbentur dan diharapkan polemic keluarga (ayahnya. Disinilah benturan kewajiban sebagai anak terhadap orang tua dan kewajiba individu terhadap kholiknya, sehingga manusia harus memilih mana kewajiban yang sebagai hak pribadinya.
Kewajiban adalah suatu tindakan yang harus dilakukan oleh setiap manusia dalam memenuhi hubungan sebagai makhluk individu, social dan tuhan . Kewajiban dapat dibagi tiga macam yaitu:
a.      Kewajiban individu (pribadi)
·        Masukdnya adalah bahwa individu memiliki kewajiban terhadap dirinya sendiri.
·        Contoh, manusia sebagai individu perlu kesehatan untuk memperoleh kesehatan manusia harus dapat memenuhinya dengan cara individu harus berkewajiban menjaga kesehatan badan, bahkan kalau badan kurang sehat, sebagai makhluk individu mengupayakan menyembuhkannya, dengan demikian, dalam rangka memenuhi kewajibannya sebagai idividu perlu berusaha dan tindakan nyata menunjukan apakah seseorang telah memenuhi kewajibannya atau tidak.
b.      Kewajiban social( masyarakat)
·        Maksudnya adalah bahwa seseorang disamping sebagai individu tetapi juga sekaligus sebagai makhluk sosial maka keterikatan tersebut menjadikan individu harus sebagai anggota masyarakat. kewajiban ada sebab manusia tidak bisa hidup menyendiri dan masing-massing individu mempunyai kewajiban terhadap individu lain di alam masyarakat, sebagai contoh adalah kewajiban tolong menolong antar sesama manusia. Makhluk social bisa memungkiri tentang kewajiban ini di masyarakat masalah kewajiban bagi individu terhadap sesamanya tetap ada dan masih di perhatikan. Perasaan orang sehat apabila di tolong oleh orang lain yang mempunyai niat baik tentu senang dan terimah kasih. Suasana demikia tida bisa ditutupi sebab kewajiban tolong menolong adalah perbuatan yang di harapkan semua makhluk.

c.       Kewajiban makhluk terhadap Tuhan
·        Maksudnya adalah individu ternyata tidak hanya hidup bersama sebagai makhluk pribadi dan makhluk social tetapi mahluk individu ternyata tidak hanya hidup bersama sebagai pribadi dan makhluk social saja teatpi individu tidak dapat lepas dari penciptanya yaitu tuhan karena dia yang menciptakan dan memlihara alam (termasuk manusia ini) sehingga kewajiban sebagai hamba (ciptaan) hanya ibadah.
·        Contoh, individu yang ibadah arti sempit sebagi orang islam adalah berkewajiban sholat namun dalam arti luas ibadah adalah luas artinya apabila semua aktifitas kita niat semua ikhlas baik dan benar dan semata-mata karena mencari ridhoNya.
1.    Selain pembagian diatas kewajiban dapat di bagi menjadi dua, yaitu:
Kewajiban terbatas, ialah dapat dipertanggungkan kepada orang-orang yang sama, dana tidak berbeda-beda dapat dijadikan undang-undangn negeri, seperti jangan membunuh dan jangan mencuri, dimana orang disampingnya dapat diadakan hukuman-hukuman, bagi orang-orang yang merusaknya. Didalam pembagian ini undang-undang dan akhlak sama-sama mnghendakinya.
2.    Kewajiban tak terbatas, dan ini tidak dapat dibuat undng-undang, karena bila dianutnya, merugikan dengan kerugian yang besar, dan bila tidak dapat ditentukan ukuran mana yang dikehendaki oleh kewajiban ini, seperti kebajikan, padahal kadar yang ini berbeda masa, tempat dan keadaa yang mengelilingi manusia.
Bagian pertama mengandung dasar-dasar kewajiban yang karenanya berwujud masyarakat dan dengan melengahkan kewajiban ini kalang kabutlah keadaan masyarakat. Bagian kedua mengandung kewajiban-kewajiban yang dapat mempertinggi dan memakmurkan masyarakat. Oleh karena itu diktakan bahwa: bagian yang kedua lebih tinggi nilainya dari yang pertama, karean yang pertama dijalankan oleh undang-undang sedangkan yang kedua diperankan oleh suara hati, seperti adil dan kebijakan adil adalah dari bagian yang pertama, dan kepadanya masyarakat menggantungkan dirinya, dan kebajikan adalah bagian kedua, dan ia tidak akan ada sehingga keadilan itu ada. Adil adalah landasan kewajiban dan didirikan diatasnya.
1.    Kewajiban manusia bermacam-macam, maka tiap-tiap keadaan hidup, menentukan kewajiban yang tertentu, manusia di dunia seperti kelas kapal dan tentara bag tip-tiap orang yang mempunyai perbuatan dan dan tiap-tiap perbuatan mengandung kewajiban . Tetapi kewajiban mereka berbeda-beda, karena manusia itu berbeda-beda dilihat dari berbagai sudut: Menurut kekayaan, maka diantara mereka ada yang kaya, ada yang miskin dan       ada yang sedang.
2.    Menurut tingkat dan derajat seperti raja, bangsawan dan rakyat jelata.
3.    Menurut pekerjaan, diantara pekerjaan mereka ada yang dengan pikiran sebagai hakim dan guru, ada pula yang pekerjaanya dengan tangan sperti tukang kayu dan tukang besi, dan lain-lain.
Inilah yang menimbulkan perbedaan kewajiban, apa yang wajib bagi seorang hakim, lain lagi dengan kewajiban bagi rakyat, kewajiban orang kaya lain dengan kewajiban orang miskin. Tiap-tiap manusia bagaimanapun juga, harus menunaikan kewjibannya. Dan hendaknya jangan seorang dari kita memperkecil apa yang diwajibkan kepadanya, karena banyak kewajiban-kewajiban yang besar tergantung pada kewajiban yang kecil-kecil. Seorang penyapu jalan misalnya, tidak dapat dikatakan suatu pekerjaan yang rendah dan hina, karena hidup dan kesehatan orang banyak tergantung pada perbuatannya. Hal itu bukanlah suatu soal mudah karena lepasnya sepotong kayu kecil dari kapal terkadang menjadikannya tenggelam, dan hilangnya paku kecil pada sebuah jam terkadang menyebabkan berhenti dan rusaknya.

C.     Pengertian Keadilan
Berdasarkan rumusan oleh departemen pendidikan dan kebudayaan adil adalah:[i]
a.    sesuai dengan adanya memberikan sesuatu kepada orang yang memang menjadi haknya.
b.    Tidak pilih kasih memperlakukan orang dengan penuh kebijaksanaan dan tidak sewenang-wenang.
Tidak dapat dipungkiri, Al-qur’an meningkatkan sisi keadilan dalam kehidupan manusia, baik secara kolektif maupun individual. Karenanya, dengan mudah kita lalu dihinggapi semacam rasa cepat puas diri sebagai pribadi-pribadi Muslim dengan temuan yang mudah diperoleh secara gamblang itu.
Poedjawijatna mengartikan keadilan sebagai pengakuan dan perlakuan teradap hak yang sah . Sedangkan Al-Qur'an menggunakan pengertian yang berbeda-beda bagi kata atau istilah yang bersangkut-paut dengan keadilan. Bahkan kata yang digunakan untuk menampilkan sisi atau wawasan keadilan juga tidak selalu berasal dari akar kata 'adl. Kata-kata sinonim seperti qisth, hukm dan sebagainya digunakan oleh al-Qur'an dalam pengertian keadilan. Sedangkan kata 'adl dalam berbagai bentuk konjugatifnya bisa saja kehilangan kaitannya yang langsung dengan sisi keadilan itu (ta'dilu, dalam arti mempersekutukan Tuhan dan 'adl dalam arti tebusan).
Allah SWT. Berfirman : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl : 90)
Kalau dikatagorikan, ada beberapa pengertian yang berkaitan dengan keadilan dalam al-Qur'an dari akar kata 'adl itu, yaitu sesuatu yang benar, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan ("Hendaknya kalian menghukumi atau mengambil keputusan atas dasar keadilan"). Secara keseluruhan, pengertian-pengertian di atas terkait langsung dengan sisi keadilan, yaitu sebagai penjabaran bentuk-bentuk keadilan dalam kehidupan. Dari terkaitnya beberapa pengertian kata 'adl dengan wawasan atau sisi keadilan secara langsung itu saja, sudah tampak dengan jelas betapa porsi "warna keadilan" mendapat tempat dalam al-Qur'an, sehingga dapat dimengerti sikap kelompok Mu'tazilah dan Syi'ah untuk menempatkan keadilan ('adalah) sebagai salah satu dari lima prinsip utama al-Mabdi al-Khamsah.) dalam keyakinan atau akidah mereka.
Kesimpulan di atas juga diperkuat dengan pengertian dan dorongan al-Qur'an agar manusia memenuhi janji, tugas dan amanat yang dipikulnya, melindungi yang menderita, lemah dan kekurangan, merasakan solidaritas secara konkrit dengan sesame warga masyarakat, jujur dalam bersikap, dan seterusnya.
Hal-hal yang ditentukan sebagai capaian yang harus diraih kaum Muslim itu menunjukkan orientasi yang sangat kuat akar keadilan dalam al-Qur'an. Demikian pula, wawasan keadilan itu tidak hanya dibatasi hanya pada lingkup mikro dari kehidupan warga masyarakat secara perorangan, melainkan juga lingkup makro kehidupan masyarakat itu sendiri. Sikap adil tidak hanya dituntut bagi kaum Muslim saja tetapi juga mereka yang beragama lain. Itupun tidak hanya dibatasi sikap adil dalam urusan-urusan mereka belaka, melainkan juga dalam kebebasan mereka untuk mempertahankan keyakinan dan melaksanakan ajaran agama masing-masing.
Allah SWT, sebagai berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah : 8)
Yang cukup menarik adalah dituangkannya kaitan langsung antara wawasan atau sisi keadilan oleh al-Qur'an dengan upaya peningkatan kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup warga masyarakat, terutama mereka yang menderita dan lemah posisinya dalam percaturan masyarakat, seperti yatim-piatu, kaum muskin, janda, wanita hamil atau yang baru saja mengalami perceraian.
Juga sanak keluarga (dzawil qurba) yang memerlukan pertolongan sebagai pengejawantahan keadilan. Orientasi sekian banyak "wajah keadilan" dalam wujud konkrit itu ada yang berwatak karikatif maupun yang mengacu kepada transformasi sosial, dan dengan demikian sedikit banyak berwatak straktural.
Fase terpenting dari wawasan keadilan yang dibawakan al-Qur'an itu adalah sifatnya sebagai perintah agama, bukan sekedar sebagai acuan etis atau dorongan moral belaka. Pelaksanaannya merupakan pemenuhan kewajiban agama, dan dengan demikian akan diperhitungkan dalam amal perbuatan seorang Muslim di hari perhitungan (yaum al-hisab) kelak. Dengan demikian, wawasan keadilan dalam al-Qur'an mudah sekali diterima sebagai sesuatu yang ideologis, sebagaimana terbukti dari revolusi yang dibawakan Ayatullah Khomeini di Iran. Sudah tentu dengan segenap bahaya-bahaya yang ditimbulkannya, karena ternyata dalam sejarah, keadilan ideologis cenderung membuahkan tirani yang mengingkari keadilan itu
Sebab kenyataan penting juga harus dikemukakan dalam hal ini, bahwa sifat dasar wawasan keadilan yang dikembangkan al-Qur'an ternyata bercorak mekanistik, kurang bercorak reflektif. Ini mungkin karena "warna" dari bentuk konkrit wawasan keadilan itu.

D.      HUBUNGAN ANTARA HAK, KEWAJIBAN DAN KEADILAN DENGAN AKHLAK
Aklak adalah perbuatan yang di lakukan dengan sengaja mendarah mendaging, sebenarnya dan tulus iklas sebenarnya dan tulus ikhlas karena Allah.
Hubungan akhlak dengan hak dapat dilihat dari arti hak  itu yaitu sebagai milik yang dapat digunakan oleh seseorang tanpa ada yang dapat menghalanginya.hak yang demikian itu merupakan bagaian dengan aklak ,karena akhlak harus dilakukan  oleh seseorang sebagai haknya Akhlak yang mendarah mendaging itu menjadi bagaian dari kepribadian seseorang yang denganya timbul kewajiban untuk melaksanakan tanpa merasa berat. Sedangkan keadilan sebagamana telah di uraikan teryata induk aklak. Dengan terlaksananya hak, kewajiban & keadilan dengan sendirinya mendukung perbuatan yang akhlaki.[ii]




BAB III
PENUTUP

Hak dapat diartikan wewenang atau kekuasaan yang secara etis seseorang dapat mengerjakan, memiliki, meninggalkan, mempergunakan atau menuntut sesuatu. Poedjawijatna mengatakan bahwa yang dimaksud hak ialah semacam milik, kepunyaan yang tidak hanya kepunyaan benda saja, melainkan pula tindakan, pikiran, dan hasil pemikiran itu. Sedangkan kewajiban adalah suatu tindakan yang harus dilakukan oleh setiap manusia dalam memenuhi hubungan sebagai makhluk individu, sosial dan Tuhan.
Dan Keadilan merupakan peringkat tertinggi dalam menentukan segala bentuk permasalahan yang ada hubungannya dengan kepentingan orang banyak. Perintah berlaku adil ditujukan kepada setiap orang, tanpa pandang bulu. Kemestian berlaku adil pun mesti ditegakkam di dalam keluarga dan masyarakat muslim itu sendiri, bahkan kepada orang kafir pun umat Islam diperintahkan berlaku adil. Maka hanya dengan menerapkan konsep keadilan yang ideal seperti itu, maka umat Islam pada khususnya akan terbebas dari belenggu perbudakan kaum impratif modern.







DAFTAR PUSTAKA

Mustafa,H.A..1997. Akhlak Tasawuf. Bandung : Pustaka Setia.
Nata, Abuddin.2006.Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Poedjawijatna.1982. Etika Filsafat Tingkah Laku.Jakarta: Bina Aksara.





KAJIAN ISTILAH MANUSIA DALAM AL-QURAN DAN KEDUDUKANNYA DALAM ALAM SEMESTA

KAJIAN ISTILAH MANUSIA DALAM AL-QURAN DAN KEDUDUKANNYA DALAM ALAM SEMESTA

Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Ilmu Pendidikan Islam



Disusun oleh:
Nursyid Choirul H.     (210 609 047)
Dosen Pengampu:


JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAN NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2011

BAB I
PENDAHULUAN

Pemahaman tentang manusia merupakan bagian dari kajian filsafat. Tak mengherankan jika banyak sekali kajian atau pemikiran yang telah dicurahkan untuk membahas tentang manusia . walaupun demikian, persoalan tentang manusia ajan menjadi misteri yang tek terselesaikan. Hal ini menurut Husein Aqil al-Munawwar dalam Jalaluddin (2003: 11) karena keterbatasan pengetahuan para ilmuan untuk menjangkau segala aspek yang terdapat dalam diri manusia. Lebih lanjut Jalaluddin (2003: 11) mengatakan bahwa manusia sebagai makhluk Allah yang istimewa agaknya memang memiliki latar belakang kehidupan yang penuh rahasia.
Dengan demikian, memang yang menjadi keterbatasan untuk mengetahui segala aspek yang terdapat pada diri manusia itu adalah selain keterbatan para ilmuan untuk mengkajinya, juga dilatarbelakangi oleh faktor keistimewaan manusia itu sendiri.
Walaupun demikian, sebagai hamba yang lemah, usaha untuk mempelajarinya tidaklah berhenti begitu saja. Banyak sumber yang mendukung untuk mempelajari manusia. Di antara sumber yang paling tinggi adalah Kitab Suci Al-Qur’an. Yang mana di dalamnya banyak terdapat petunjuk-petunjuk tentang penciptaan manusia. Konsep-konsep tentang manusia banyak dibahas, mulai dari proses penciptaan sampai kepada fungsinya sebagai makhluk ciptaan Allah.
Dalam makalah ini kami berupaya untuk menguraikan secara sederhana tentang hakikat manusia dan kedudukannya di alam semesta. Yang sudah tentu hal ini merupakan kajian untuk mempejari penciptaan manusia.





BAB II
PEMBAHASAN

A.     HAKIKAT MANUSIA
Berbicara tentang manusia berarti kita berbicara tentang dan pada diri kita sendiri makhluk yang paling unik di bumi ini. Banyak di antara ciptaan Allah yang telah disampaikan lewat wahyu yaitu kitab suci. Manusia merupakan makhluk yang paling istimewa dibandingkan dengan makhluk yang lain. Menurut Ismail Rajfi manusia adalah makhluk kosmis yang sangat penting, karena dilengkapi dengan semua pembawaan dan syarat-syarat yang diperlukan (Jalaluddin, 2003: 12).
`Manusia mempunyai kelebihan yang luar biasa. Kelebihan itu adalah dikaruniainya akal. Dengan dikarunia akal, manusia dapat mengembangkan bakat dan potensi yang dimilikinya serta mampu mengatur dan mengelola alam semesta ciptaan Allah adalah sebagai amanah.
Selain itu manusia juga dilengakapi unsur lain yaitu qolbu (hati). Dengan qolbunya manusia dapat menjadikan dirinya sebagai makhluk bermoral, merasakan keindahan, kenikmatan beriman dan kehadiran Ilahi secara spiritual (Jalaluddin, 2003: 14).
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia dibandingkan dengan makhluk yang lain, dengan memiliki potensi akal, qolbu dan potensi-potensi lain untuk digunakan sebagai modal mengembangkan kehidupan.
Hakikat wujud manusia menurut Ahmad Tafsir (2005: 34) adalah makhluk yang perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa manusia mempunyai banyak kecenderungan, ini disebabkan oleh banyaknya potensi yang dimiliki. Dalam hal ini beliau membagi kecenderungan itu dalam dua garis besar yaitu cenderung menjadi orang baik dan cenderung menjadi orang jahat (2003: 35).
Secara rinci, M. Nasir Budiman (Kemas Badaruddin, 2007) mengklasifikasikan manusia ini menjadi empat klasifikasi, yaitu:
1.      Hakikat manusia secara umum.
a.       Manusia sebagai makhluk Allah SWT mempunyai kebutuhan untuk bertaqwa kepadaNya.
b.      Manusia membutuhkan lingkungan hidup, berkelompok untuk mengembangkan dirinya.
c.       Manusia mempunyai potensi yang dapat dikembangkan dan membutuhkan material sertas spiritual yang harus dipenuhi.
d.      Manusia itu pada dasarnya dapat dan harus dididik serta dapat mendidik diri sendiri.
2.      Hakikat manusia sebagai subjek didik
a.       Subjek didik bertanggung jawab atas pendidikannya sendiri sesuai dengan wawasan pendidikan seumur hidup.
b.      Subjek didik memiliki potensi baik fisik maupun psikologis yang berbeda sehingga masing-masing subjek didik merupakan insane yang unik.
c.       Subjek didik memerlukan pembinaan individual serta perlakuan yang manusiawi.
d.      Subjek didik pada dasarnya merupakan insane yang aktif menghadapi lingkungan hidupnya.
3.      Hakikat manusia sebagai pendidik
a.       Pendidik adalah agen perubahan
b.      Pendidik berperan sebagai pemimpin dan pendukung nilai-nilai masyarakat dan agama.
c.       Pendidik sebagai fasilitator yang memungkinkan terciptanya kodisi belajar subjek         didik yang efektif dan efisien.
d.      Pendidik bertanggung jawab terhadap keberhasilan tujuan pendidikan.
e.       Pendidik dan tenaga kependidikan dituntut untuk menjadi contoh dalam pengelolaan proses belajar mengajar bagi calon guru yang menjadi subjek didiknya.
f.        Pendidik bertanggung jawab secara professional untuk terus-menerus meningkatkan kemampuannya.
g.       Pendidik menjunjung tinggi kode etik profesionalnya.
4.      Hakikat manusia sebagai anggota masyarakat.
a.       Kehidupan masyarakat berlandaskan sistem nilai-nilai keagamaan, social dan budaya yang dianut oleh warga masyarakat. Sebagian daripada nilai-nilai tersebut bersifat lestari dan sebagian lain terus berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
b.      Masyarakat merupakan sumber nilai-nilai yang memberikan arah normatif kepada pendidikan.
c.       Kehidupan masyarakat ditingkatkan kualitasnya oleh insan-insan yang berhasil mengembangkan dirinya melalui pendidikan.
Lebih lanjut Omar Moh. Al-Toumy al-Syaibany (1983: 145-148) memaparkan tentang haikikat manusia berkaitan dengan wataknya di dalam Al-Qur’an, yaitu:
1.      Kikir dan bekerja keras di dunia, (Al-Adiyat: 8, Al-Fajr:20, Annisa:128, Al-Balad:4)
2.      Penakut dan lemah (Annisa:28, Arrum:54, Al-Ma’arij:19-21)
3.      Cepat akan harta dan kesenangan (Al-Isra’:11, Yunus:11, Al-Anbiya’:37, Al-Qiyamah:20)
4.      Membantah Allah (Al-Kahfi:54)
5.      Mudah gembira jika mendapat nikmat dan putus asa ketika hilang nikmat (Al-Fushilat:49 Dan 51)
6.      Kasih sayang (Al-A’raf:189, Annisa:9)
7.      Yakin akan Allah (Az-zumar:8, Ar-rum:8, Lukman:32)
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hakikat manusia itu sangat beragam sekali, mulai dari hakikatnya sebagai makhluk Allah SWT dan hakikatnya sebagai makhluk sosial. Dengan kata lain hakikat manusia itu adalah adanya hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia itu sendiri serta lingkungan (alam).


B.     PERSPEKTIF TENTANG MANUSIA
1.      Manusia Dalam Perspektif Al-Qur’an
a.      Konsep al-Basyr
Penelitian terhadap kata manusia yang disebut al-Qur’an dengan menggunakan kata basyar menyebutkan, bahwa yang dimaksud manusia basyar adalah anak turun Adam, makhluk fisik yang suka makan dan berjalan ke pasar. Aspek fisik itulah yang membuat pengertian basyar mencakup anak turun Adam secara keseluruhan (Aisyah Bintu Syati, 1999: 2). Menurut Abdul Mukti Ro’uf (2008: 3), kata basyar disebutkan sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan hanya sekali dalam bentuk mutsanna.  Jalaluddin (2003: 19) mengatakan bahwa berdasarkan konsep basyr, manusia tidak jauh berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Dengan demikian kehidupan manusia terikat kepada kaidah prinsip kehidupan biologis seperti berkembang biak. Sebagaimana halnya dengan makhluk biologis lain, seperti binatang. Mengenai proses dan fase perkembangan manusia sebagai makhluk biologis, ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an, yaitu:
1.      Prenatal (sebelum lahir), proses penciptaan manusia berawal dari pembuahan (pembuahan sel dengan sperma) di dalam rahim, pembentukan fisik (QS. 23: 12-14)
2.      Post natal (sesudah lahir) proses perkembangan dari bayi, remaja, dewasa dan usia lanjut (QS. 40: 67)Secara sederhana, Quraish Shihab (1996: 279) menyatakan bahwa manusia dinamai basyar karena kulitnya yang tampak jelas dan berbeda dengan kulit-kulit binatang yang lain. Dengan kata lain, kata basyar senantiasa mengacu pada manusia dari aspek lahiriahnya, mempunyai bentuk tubuh yang sama, makan dan minum dari bahan yang sama yang ada di dunia ini. Dan oleh pertambahan usianya, kondisi fisiknya akan menurun, menjadi tua, dan akhirnya ajalpun menjemputnya (Abuddin Nata 1997: 31).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia dalam konsep al-Basyr ini dapat berubah fisik, yaitu semakin tua fisiknya akan semakin lemah dan akhirnya meninggal dunia. Dan dalam konsep al-Basyr ini juga dapat tergambar tentang bagaimana seharusnya peran manusia sebagai makhluk biologis. Bagaimana dia berupaya untuk memenuhi kebutuhannya secara benar sesuai tuntunan Penciptanya. Yakni dalam memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersier.
b.      Konsep Al-Insan
Kata insan bila dilihat asal kata al-nas, berarti melihat, mengetahui, dan minta izin. Atas dasar ini, kata tersebut mengandung petunjuk adanya kaitan substansial antara manusia dengan kemampuan penalarannya. Manusia dapat mengambil pelajaran dari hal-hal yang dilihatnya, dapat mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, serta dapat meminta izin ketika akan menggunakan sesuatu yang bukan miliknya. Berdasarkan pengertian ini, tampak bahwa manusia mampunyai potensi untuk dididik (Abuddin Nata, 1997: 29).
Potensi manusia menurut konsep al-Insan diarahkan pada upaya mendorong manusia untuk berkreasi dan berinovasi (Jalaluddin, 2003: 23). Jelas sekali bahwa dari kreativitasnya, manusia dapat menghasilkan sejumlah kegiatan berupa pemikiran (ilmu pengetahuan), kesenian, ataupun benda-benda ciptaan. Kemudian melalui kemampuan berinovasi, manusia mampu merekayasa temuan-temuan baru dalam berbagai bidang. Dengan demikian manusia dapat menjadikan dirinya makhluk yang berbudaya dan berperadaban.

c.       Konsep Al-Nas
Dalam konsep an-naas pada umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial (Jalaluddin, 2003: 24). Tentunya sebagai makhluk sosial manusia harus mengutamakan keharmonisan bermasyarakat. Manusia harus hidup sosial artinya tidak boleh sendiri-sendiri. Karena manusia tidak bisa hidup sendiri.
Jika kita kembali ke asal mula terjadinya manusia yang bermula dari pasangan laki-laki dan wanita (Adam dan Hawa), dan berkembang menjadi masyarakat dengan kata lain adanya pengakuan terhadap spesis di dunia ini, menunjukkan bahwa manusia harus hidup bersaudara dan tidak boleh saling menjatuhkan. Secara sederhana, inilah sebenarnya fungsi manusia dalam konsep an-naas.
d.      Konsep Bani Adam
Adapun kata bani adam dan zurriyat Adam, yang berarti anak Adam atau keturunan Adam, digunakan untuk menyatakan manusia bila dilihat dari asal keturunannya (Quraish Shihab, 1996: 278). Dalam Al-Qur’an istilah bani adam disebutkan sebanyak 7 kali dalam 7 ayat) (Abdul Mukti Ro’uf, 2008: 39.
Menurut Thabathaba’i dalam Samsul Nizar (2001: 52), penggunaan kata bani Adam menunjuk pada arti manusia secara umum. Dalam hal ini setidaknya ada tiga aspek yang dikaji, yaitu: Pertama, anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah, di antaranya adalah dengan berpakaian guna manutup auratnya. Kedua, mengingatkan pada keturunan Adam agar jangan terjerumus pada bujuk rayu setan yang mengajak kepada keingkaran. Ketiga, memanfaatkan semua yang ada di alam semesta dalam rangka ibadah dan mentauhidkanNya. Kesemuanya itu adalah merupakan anjuran sekaligus peringatan Allah dalam rangka memuliakan keturunan Adam dibanding makhluk-Nya yang lain. Lebih lanjut Jalaluddin (2003: 27) mengatakan konsep Bani Adam dalam bentuk menyeluruh adalah mengacu kepada penghormatan kepada nilai-nilai kemanusian.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia dalam konsep Bani Adam, adalah sebuah usaha pemersatu (persatuan dan kesatuan) tidak ada perbedaan sesamanya, yang juga mengacu pada nilai penghormatan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian serta mengedepankan HAM. Karena yang membedakan hanyalah ketaqwaannya kepada Pencipta. Sebagaimana yang diutarakan dalam QS. Al-Hujarat: 13).
e.      Konsep Al-Ins
Kata al-Ins dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 18 kali, masing-masing dalam 17 ayat dan 9 surat (Abdul Mukti Ro’uf, 2008:24). Muhammad Al-Baqi dalam Jalaluddin (2003: 28) memaparkan al-Isn adalah homonim dari al-Jins dan al-Nufur. Lebih lanjut Quraish Shihab mengatakan bahwa dalam kaitannya dengan jin, maka manusia adalah makhluk yang kasab mata. Sedangkan jin adalah makhluk halus yang tidak tampak (Jalaluddin, 2003: 28).
Sisi kemanusiaan pada manusia yang disebut dalam al-Qur’an dengan kata al-Ins dalam arti “tidak liar” atau “tidak biadab”, merupakan kesimpulan yang jelas bahwa manusia yang insia itu merupakan kebalikan dari jin yang menurut dalil aslinya bersifat metafisik yang identik dengan liar atau bebas (Aisyah Bintu Syati, 1999: 5). Dari pendapat di atas dapat dikatakan bahwa dalam konsep al-ins manusia selalu di posisikan sebagai lawan dari kata jin yang bebas. bersifat halus dan tidak biadab. Jin adalah makhluk bukan manusia yang hidup di alam “antah berantah” dan alam yang tak terinderakan. Sedangkan manusia jelas dan dapat menyesuaikan diri dengan realitas hidup dan lingkungan yang ada.
f.        Konsep Abd. Allah
M. Quraish Shihab dalam Jalaluddin (2003: 29), seluruh makhluk yang memiliki potensi berperasaan dan berkehendak adalah Abd Allah dalam arti dimiliki Allah. Selain itu kata Abd juga bermakna ibadah, sebagai pernyataan kerendahan diri.
Menurut M.Quraish Shihab (Jalaluddin, 2003: 29), Ja’far al-Shadiq memandang ibadah sebagai pengabdian kepada Allah baru dapat terwujud bila seseorang dapat memenuhi tiga hal, yaitu:
1.      Menyadari bahwa yang dimiliki termasuk dirinya adalah milik Allah dan berada di bawah kekuasaan Allah.
2.      Menjadikan segala bentuk sikap dan aktivitas selalu mengarah pada usaha untuk memenuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
3.      Dalam mngambil keputusan selalu mengaitkan dengan restu dan izin Allah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam konsep Abd Allah, manusia merupakan hamba yang seyogyanya merendahkan diri kepada Allah. Yaitu dengan menta’ati segala aturan-aturan Allah.

g.      Konsep Khalifah Allah
Pada hakikatnya eksistensi manusia dalam kehidupan dunia ini adalah untuk melaksanakan kekhalifahan, yaitu membangun dan mengelola dunia tempat hidupnya ini., sesuai dengan kehendak Penciptanya. Menurut Jalaluddin (2003: 31) peran yang dilakonkan oleh manusia menurut statusnya sebagai khalifah Allah setidak-tidaknya terdiri dari dua jalur, yaitu jalur horizontal dan jalur vertikal. Peran dalam jalur horizontal mengacu kepada bagaimana manusia mengatur hubungan yang baik dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Sedangkan peran dalam jalur vertikal menggambarkan bagaimana manusia berperan sebagai mandataris Allah. Dalam peran ini manusia penting menyadari bahwa kemampuan yang dimilikinya untuk menguasai alam dan sesama manusia adalah karena penegasan dari Penciptanya.
2.      Manusia Dalam Perspektif Filsafat
Para ahli pikir filsafat mencoba memaknai hakikat manusia. Mereka mencoba manamai manusia sesuai dengan potensi yang ada pada manusia itu.
Berdasarkan potensi yang ada, para ahli pikir dan ahli filsafat tersebut memberi nama pada diri manusia di muka bumi ini, para ahli pikir dan ahli filsafat tersebut memberi nama pada diri manusia dengan sebutan-sebutan sebagai berikut:
a.       Homo Sapiens, artinya makhluk yang mempunyai budi.
b.      Animal Rational, artinya binatang yang berpikir.
c.       Homo Laquen, artinya makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan menjelmakan pikiran manusia dan perasaan dalam kata-kata yang tersusun.
d.      Homo Faber, yaitu makhluk yang terampil, pandai membuat perkakas, atau disebut juga tool making animal, yaitu binatang yang pandai membuat alat.
e.       Aoon Politicon, yaitu makhluk yang pandai bekerjasama, bergaul dengan orang lain dan mengorganisasi diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
f.        Homo Economicus, yaitu makhluk yang tunduk pada prinsip-prinsip ekonomi dan bersifat ekonomis.
g.       Homo Religius, yaitu makhluk yang beragama.(Syahminan Zaini, 1980: 5-6)
Dalam perspektif filsafat, konsep manusia menurut Jalaluddin (2003: 32-33) juga mencakup ruang lingkup kosmologi (bagian dari alam semester), antologi (pengabdi Penciptanya), philosophy of mind (potensi), epistemology (proses pertumbuhan dan perkembangan potensi) dan aksiologi (terikat nilai-nilai). Berbicara mengenai pandangan filsafat tentang hakikat manusia, ada 4 aliran yang ditawarkan oleh para ahli filsafat. Adapun keempat aliran tersebut, seperti yang dikutip Jalaluddin dan Abdullah (1997:107-108) dan Zuhairini (1995:71-74) adalah sebagai berikut:
a.      Aliran Serba Zat.
Aliran ini menyatakan bahwa yang sungguh-sunguh ada hanyalah zat atau materi. Zat atau materi itulah hakikat sesuatu. Alam ini adalah zat atau materi, dan manusia adalah unsur alam. Oleh karena itu, hakikat manusia adalah zat atau materi.
b.      Aliran Serba Ruh.
Aliran ini berpandangan bahwa hakikat segala sesuatu yang ada di dunia ini ialah ruh, termasuk juga hakikat manusia. Adapun zat atau materi adalah manifestasi ruh di atas dunia ini. Dengan demikian, jasad atau badan manusia hanyalah manifestasi atau penjelmaan ruh.
c.       Aliran Dualisme.
Aliran ini menggabungkan pendapat kedua aliran di atas. Aliran ini berpandangan bahwa hakikatnya manusia terdiri dari dua substansi, yaitu jasmani dan rohani. Kedua substansi ini merupakan unsur asal, tidak tergantung satu sama lain. Jadi, badan tidak berasal dari ruh, dan sebaliknya, ruh tidak berasal dari badan. Dalam perwujudannya, manusia tidak serba dua, melainkan jadi hubungan sebab akibat yang keduanya saling mempengaruhi.
d.      Aliran Eksistensialisme.
Aliran ini memandang manusia dari segi eksistensinya. Menurut aliran ini, hakikat manusia merupakan eksistensi atau perwujudan sesungguhnya dari manusia. intinya, hakikat manusia adalah apa yang menguasai manusia secara menyeluruh.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam perspektif filsafat, manusia dinamai berdasarkan fungsi dan potensinya. Dan manusia juga dipandang dalam bentuk aliran-aliran oleh para ahli filsafat.







BAB III
KESIMPULAN

Kajian mengenai manusia sangat luar biasa sekali uniknya. Sangatlah pantas manusia itu dikatakan makhluk yang paling mulia. Dilihat dari proses penciptaan sampai kepada fungsinya, sudah menunjukkan bahwa manusia merupakan makhluk yang terpilih oleh Allah.
Dalam uraian singkat makalah di atas, terdapat beberapa hal yang perlu digarisbawahi berkaitan tentang manusia, yaitu:
1.      Hakikat manusia itu sangat beragam sekali, mulai dari hakikatnya sebagai makhluk Allah SWT dan hakikatnya sebagai makhluk sosial.
2.      Pandangan tentang manusia itu dapat dilihat dari dua perspektif.
a.      Perspektif Al-Qur’an.Terdiri dari:
a)      Konsep al-Basyr. Dalam konsep ini manusia dipandang sebagai makhluk yang tidak jauh berbeda dengan makhluk biologis lainnya. (terikat ingin berkembang biak). Dalam hal ini kita kenal proses dan fase perkembangan manusia, yaitu: Prenatal (sebelum lahir), proses penciptaan manusia berawal dari pembuahan (pembuahan sel dengan sperma) di dalam rahim, pembentukan fisik (QS. 23: 12--14). Kedua, Post natal (sesudah lahir) proses perkembangan dari bayi, remaja, dewasa dan usia lanjut (QS. 40: 67)
b)      Konsep al-Insan. Dalam konsep ini manusia dipandang mempunyai potensi untuk mengembangkan dirinya. Potensi manusia menurut konsep al-Insan diarahkan pada upaya mendorong manusia untuk berkreasi dan berinovasi.
c)      Konsep al-Nas. Dalam konsep an-naas pada umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial.
d)      Konsep Bani Adam. Konsep Bani Adam dalam bentuk menyeluruh adalah pengakuan terhadap spesis manusia yang mengacu kepada penghormatan kepada nilai-nilai kemanusian.
e)      Konsep al-Ins. Manusia dalam konsep ini adalah kebalikan dari kata jin. Manusia hidup penuh dengan keteraturan. Hidupnya jelas yang dapat terinderakan.
f)       Konsep Abd Allah. Manusia dalam konsep ini merupakan hamba, yang seyogyanya merendahkan diri kepada Allah. Yaitu dengan mena’ati segala aturan-aturan Allah.
g)      Konsep Khalifah Allah. Manusia menurut statusnya sebagai khalifah Allah setidak-tidaknya terdiri dari dua jalur, yaitu jalur horizontal (hubungan baik sesama makhluk) dan jalur vertical (mandataris Allah).